Anak-anak Kita

Mari Lindungi

FREEPIK

Kasus kekerasan pada anak menunjukkan tren peningkatan pada masa pandemi.

Kabar itu sungguh memilukan. Seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan baru berusia 11 tahun menjadi korban pemerkosaan tiga pemuda di Kabupaten Badung, Bali. Menurut pihak berwajib dalam keterangan pers pada akhir Agustus lalu, modus operandi pelaku adalah dengan bujuk rayu dan memberikan uang, kemudian melakukan tindakan bejat tersebut.

 

Kasus lain tidak kalah mengenaskan. Polri mengonfirmasi peristiwa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur di Markas Polsek Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara, pada Juni lalu. Satu hal yang membuat kasus ini sangat memprihatinkan adalah pelaku tindakan tersebut adalah anggota polisi yang bertugas di polsek tersebut.

 

Kasus tersebut terungkap setelah viral di media sosial. Polisi berinisial Briptu II itu kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Pihak yang seharusnya bertugas melindungi masyarakat atau warga justru menjadi orang yang melakukan tindakan keji itu.

 

Kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan secara daring, terus menunjukkan tren peningkatan selama masa pandemi Covid 19. Dilansir dari siaran pers dari rapat terbatas 9 Januari 2020, Presiden Joko Widodo mengungkapkan adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap anak secara signifikan. Pada tahun 2015, tercatat sebanyak 1.975 kasus dan meningkat jumlahnya menjadi 6.820 kasus pada 2016.

 

Indeks ketidaksetaraan gender di Indonesia secara konstan terus menurun dari 0,466 pada 2015 turun menjadi 0,421 pada 2019. Angka indeks ini menunjukkan ketidaksetaraan itu masih tampak di beberapa sektor baik itu di sektor kesehatan dan pendidikan.

 

CDP Program Advisor  Yayasan Plan International Indonesia, Hari Sadewo, mengatakan secara hukum yang disebut anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang belum dianggap kontraktual dan harus diberikan perlindungan. Maka, penting bagi siapa pun untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan seksual.

 

Kat Jayne/PEXELS

Kekerasan seksual terhadap anak masih kerap terjadi dalam masyarakat. Menurut data Sistem Informasi Online (Simfoni) Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian PPPA, ada 15 ribu kasus pada 2020, di antaranya 58,5 persen korban adalah berusia anak.

 

Lebih spesifik, anak perempuan merupakan kelompok yang lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual. Melihat dari laporan Kemensos pada 2013, dari setiap 1.000 anak perempuan, maka 41 satu anak perempuan telah mengalami kekerasan seksual.

 

Data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2021 menunjukkan angka KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada  2020 naik menjadi 940 kasus. Dari dua data tersebut dapat disimpulkan Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan seksual.

 

Gender Equality & Social Inclusion (GESI) Specialist Yayasan Plan International Indonesia, Rani Hastari, mengatakan setiap harinya anak perempuan dan perempuan muda mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual. Kekerasan gender diakibatkan karena adanya ketidaksetaraan gender. Kekerasan berbasis gender tidak hanya berlaku pada lawan jenis saja, namun juga pada sesama jenis. ''Kekerasan berbasis gender ini didorong juga oleh faktor /rape culture/ yang beredar di tengah masyarakat karena beberapa kelakuan pelecehan seksual dinormalisasi dan dianggap sesuatu yang biasa,'' kata Rani.

 

Maka, perlu keterlibatan berbagai pihak khususnya anak dan kaum milenial untuk mempercepat upaya pencegahan kekerasan seksual agar kemunculan kasus baru dapat dicegah dan ditekan.  Konsep kesetaraan gender merupakan fondasi untuk mencegah dan menghentikan kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah isu bersama dan sangat dekat dengan keseharian kita.

 

Selain itu, tingginya risiko KBGO terutama di masa pandemik menjadi pengingat kita tentang perlunya pengenalan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk membuat tempat aman bagi korban kekerasan. Berikut di antaranya:

Lakukan Tiga Hal

Butuh Dukungan Berbagai Pihak

Ciptakan Lingkungan Ramah Anak

Mendengarkan tanpa memaksa.

Tidak menyebarkan cerita tanpa adanya korban.

Membantu korban dalam proses pelaporan kasus.

Freepik

Freepik

Freepik

Lantas apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak? Sebenarnya, ada banyak cara. Namun, kita butuh keterlibatan dari berbagai pihak.

 

Selama beberapa  tahun terakhir, kaum milenial semakin aktif dalam upaya kampanye maupun advokasi pencegahan  perkawinan anak, baik dalam intervensi langsung di akar rumput, kampanye publik, kampanye digital, hingga advokasi kebijakan.

 

Maka dari itu, dengan mengenalkan konsep 'No! Go! Tell!' terhadap generasi milenial dapat menguatkan anak dari berbagai umur, tentang apa itu tindakan kekerasan dan penganiayaan serta bentuknya sehingga bisa melakukan tindakan pencegahan.

 

Rangkaian kelas edukasi, bagi anak dan kaum milenial serta perempuan dan laki-laki, dapat memimpin inisiatif untuk mengubah situasi relasi kuasa dan mempromosikan kesetaraan dalam upaya mencegah kekerasan seksual dan perkawinan anak.

 

Sigit Wacono selaku Child Protection Advisor Yayasan Plan International Indonesia  mengatakan negara wajib untuk memberikan perlindungan bagi anak dari segala bentuk kekerasan, apalagi kekerasan seksual.

 

Salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya kekerasan seksual adalah adanya bias dari nilai personal yang bertentangan dengan norma yang ada. Maka dari itu, Yayasan Plan Indonesia memprioritaskan mekanisme pengawasan dan pengamanan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual yang rentan dialami anak-anak, kaum muda, dan disabilitas.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menyatakan pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah bagi tumbuh kembang anak dan memastikan anak mendapat pengasuhan yang optimal selama masa pandemi.

 

"Banyak anak yang kehilangan orang tuanya karena pandemi ini. Perlu kita sadari bahwa masa depan bangsa berada di tangan mereka dan semua anak adalah anak kita. Untuk itu, kita perlu turut ikut serta, bahu membahu menciptakan lingkungan yang ramah dan suportif bagi tumbuh kembang mereka," kata Menteri Bintang melalui siaran pers.

 

Menteri Bintang menambahkan diperlukan sinergi antar-organisasi perempuan untuk menemukan jalan keluar bagi pengasuhan anak-anak yang kehilangan orang tuanya. "Diperlukan sinergi di antara organisasi-organisasi perempuan demi menemukan jalan keluar dan memastikan pengasuhan bagi anak benar-benar berjalan optimal," kata Bintang.

Di sisi lain dia mengingatkan pentingnya menumbuhkan gaya hidup sehat mulai saat ini dengan menyadari pentingnya menjaga diri sendiri dan orang lain agar tetap sehat.

 

"Kesehatan bukan hanya harus ada pada tiap individu, tetapi juga harus tumbuh kuat di tengah masyarakat. Warganya sehat dan lingkungannya sehat. Dengan kesadaran akan "hidup bersama" ini kita akan mampu menumbuhkan sikap optimistis dan pikiran positif serta kemauan untuk berjuang bersama," tutur Bintang.

 

Lebih lanjut, Bintang mengajak semua pihak untuk bahu membahu, saling mengingatkan dan menerapkan protokol kesehatan dengan mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.

 

"Marilah kita bangun pula sinergi yang kuat antarsektor dan kelompok untuk melindungi perempuan, anak, kelompok rentan dan seluruh masyarakat Indonesia dari dampak negatif pandemi ini. Seluruh ikhtiar ini merupakan wujud dari kesadaran Tat Twam Asi. Bahwa aku adalah engkau dan engkau adalah aku," kata dia.

top